Minggu, 07 September 2014

TRADISI NGEJOT TURUN TEMURUN MASYARAKAT DESA LENEK LOMBOK TIMUR

Tradisi Ngejot Masyarakat Lenek, Lombok Timur.

Merupakan tradisi turun temurun masyarakat desa Lenek sejak ratusan tahun silam hingga kini masih tetap dilaksanakan, dimana pelaksanaannya mulai H-1 hingga pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Acara Ngejot ini bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi antara keluarga, dimana saudara yang lebih kecil akan mengunjungi (Ngejot) keluarga yang lebih tua misalnya adik mengunjungi kakak, ibu mengunjungi nenek dst. dengan membawa makanan khas lebaran seperti ketupat, ayam kelak bagek, pelalah, sate pusut, sesaur, teri, tamban,kacang goreng, jaja tujak, poteng, tempeyek, pisang rendang, buah-buahan dll. yang di susun dalam wadah nampan (sadur) dan ditutup dengan tembolak (penutup yang terbuat dari daun lontar) warna merah. hal ini dilaksanakan sebagai wujud penghormatan atau ungkapan rasa saling mencintai antara keluarga walaupun sudah tidak satu atap, termasuk kepada kerabat (sahabat) dekat, atau masyarakat dengan tokoh Agama, Adat, dan Pemimpinnya.

Anda penasaran silahkan berkunjung dan lebaran di Lenek
Salam Budaya (bda)


Sabtu, 22 Februari 2014

BAJANG BEBADOSAN

Arti kata " BEBADOSAN " pada bahasa Sasak Lenek adalah : Jamak-Jamak, Lombox Buak ( Biasa Saja, Apa Adanya ).

Rabu, 17 Juli 2013

SEJARAH DESA LENEK LOMBOK TIMUR


Menurut sejarah perkembangannya diketahui bahwa desa tertua di pulau Lombok bernama Desa Perigi yang terletak sekarang di Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur. Kendatipun demikian ada juga sumber atau versi lain yang menyebutkan bahwa desa pertama dan tertua di pulau Lombok adalah sebuah desa yang dikenal dengan sebutan Desa Laek (desa lama) yang diperkirakan terletak disekitar Kecamatan Sambelia sekarang. Pada suatu masa Desa Perigi ini dilanda musibah yang sangat mengenaskan, yaitu banjir bandang yang disebabkan oleh meluapnya air Danau Segara Anak sehingga menyebabkan hanyut dan tenggelamnya Desa Perigi tersebut, hingga sebagian masyarakat pergi mengungsi ke daerah pegunungan untuk menyelamatkan diri. Kemudian setelah banjir tersebut mereda seluruh masyarakat Desa Perigi yang selamat (Raja beserta rakyatnya) pergi meninggalkan desanya dan mencari tempat baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, tempat baru ini dikenal dengan Labuan Lombok yang terletak di Kabupaten Lombok Timur, kemudian ditempat itulah mereka memulai kehidupan yang baru.

Setelah berjalan beberapa generasi, maka pada suatu saat raja memerintahkan kepada sebagian rakyatnya untuk meninggalkan Desa Labuan Lombok dengan tujuan untuk mencari tempat yang masih kosong untuk dijadikan tempat tinggal yang baru. Diantara kelompok-kelompok masyarakat itu, ada yang singgah kemudian menetap diantara desa-desa yang sekarang ini bernama : Desa Borok Dadap, Desa Sukatain, Desa Langko, dan Desa Sukumulia inilah yang kemudian menjadi cikal bakal penduduk Desa Lenek sekarang ini.

Desa Lenek ini dulu pertama kali bernama Desa Sukumulia, jadi sebelum bernama Lenek, dahulunya bernama Sukumulia, dan penduduk Desa Sukumulia ini berjumlah 140 orang, yang anehnya tidak bisa berkembang biak atau bertambah melebihi 140 orang tersebut, entah karena apa, kendatipun ada yang mengatakan itu pengaruh desanya. Pada masa itu yang menjadi Penoak Desa (Pimpinan Desa) bernama BALOQ DASA, anehnya kendati  beliau tidak menjadi raja, walau hanya selaku pimpinan desa, yang saat itu disebut Penoak Desa, tetapi beliau mempunyai Patih yang berjumlah empat orang. Adapun keempat patih tersebut adalah : Patih Tembeng Bagia, Patih Si Nyiur, Patih Demung Papak, dan Patih Ramban Biaq

Pada suatu hari Patih Ramban Biaq beserta ketiga patih lainnya diutus oleh Baloq Dasa pergi ke Kerajaan Selaparang untuk melaporkan kepada raja disana tentang kondisi masyarakat desa Sukamulia yang tidak bisa berkembang.

Kemudian singkat cerita, Raja Selaparang mengutus ke empat patih tersebut untuk pergi menemui salah seorang keluarga raja di Desa Benoa (Kerajaan Benoa) di Lombok Tengah,  untuk menjemput orang yang bernama Raden Wirangbaya, Raden Wirangbaya adalah salah satu putra Raja Selaparang yang dititipkan kepada kerabatnya (Raja Benoa) untuk berguru, mencari ilmu tentang kehidupan.

Setelah rombongan sampai di Desa Benoa, mereka semua kemudian menyampaikan kepada Raja Benoa, bahwa Raja Selaparang telah mengangkat Raden Wirangbaya untuk menjadi pimpinan di Desa Sukumulia dan Raja memerintahkan kami untuk menjemput Raden Wirangbaya sebagai pemimpin kami, kata salah seorang patih dengan tegas, melihat dan mendengar utusan dari Raja Selaparang, Raja Benoa mengatakan bahwa “Tidak ada putra raja selaparang di sini, yang dititipikan pada saya hanya seorang yang bernama Wirangbaya untuk belajar segala hal, mejadi pekatik (penggembala) seperti menggembala kuda, dan memelihara hewan ternak lainnya” kata penguasa Benoa, “Nah itu sudah yang dimaksud Raja, bahwa Raden Wirangbaya itu adalah salah satu Putra Raja Selaparang yang khusus dititip untuk belajar di Benoa ini” kata salah seorang utusan, dan seketika Raja Benoa kaget (momot, meco / tertegun) sejenak, kemudian beranjak memanggil serta menemui Raden Wirangbaya sembari memeluknya dengan menangis “Nanda Raden Wirangbaya, kenapa selama ini nanda tidak pernah bercerita bahwa sesungguhnya nanda adalah keponakan saya, putra kanda penguasa selaparang, oh maafkan pamanmu ini nak, atas segala perlakuan paman selama ini, atas perlakuan yang tidak selayaknya nanda dapatkan, paman perlakukan nanda seperti orang lain, maafkan paman”, kemudian Raden Wirangbaya memeluk Raja Benoa dengan erat dan mengatakan “Tidak apa-apa paman, tidak ada yang salah, saya memang ditugaskan untuk belajar segala hal oleh ayahanda raja pada paman di wilayah Benoa ini, sehingga saya diminta untuk menyembunyikan identitas diri, terima kasih banyak atas segalanya paman, semua saya terima dengan ikhlas” kemudian raja benoa masuk mengambil beberapa benda pusaka sebagai kenang-kenangan dan sebagai bentuk ikatan kekeluargaan diantara mereka untuk dipersembahkan kepada Raden Wirangbaya diantaranya adalah :1 buah Boneka Patung Kucing Mas (Meong Mas), boneka kucing yang di saput atau dilapisi emas murni, beberapa Keris Pusaka yang diantaranya juga ada yang di lapisi emas yang diberi nama Si Papak/Bung Papak, Sabuk Belo dan beberapa buah Tombak serta beberapa pusaka lainnya, serta untuk membantu tugas-tugas Raden Wirangbaya, maka Raja Selaparang berkenan memberikan pengiring/pengikut sebanyak 160 orang serta perbekalan lainnya ketika hendak berangkat menuju Benoa, dan rombongan kemudian kembali kearah timur menelusuri hutan lebat, dan suatu ketika sampailah di gawah (hutan) lenek, di sini Raden Wirangbaya beristirahat sejenak sambil menikmati buah durian, anehnya semua biji buah durian yang dimakan oleh Raden Wirangbaya begitu dibuang ke tanah langsung tumbuh ketika itu, dan daerah ini kemudian dinamakanlah Gawah Duren (Hutan Durian). sekarang menjadi desa pemekaran Desa Lenek Duren.

Setelah beberapa tahun memimpin Desa Sukumulia yang berpusat di Presak Lenek (sekarang menjadi desa pemekaran yang bernama Desa Lenek Pesiraman), kemudian Raden Wirangbaya memindahkan pusat pemerintahannya kesebelah utara sejauh lebih kurang satu kilometer, perkampungan baru yang pertamakali dibuat itu di beri nama Gubuk Koloh Petung, akan tetapi oleh masyarakat dulu dikenal dengan sebutan LENDEK (bergeser, pergeseran, atau perpindahan sejauh 1 km), kemudian lama kelamaan oleh masyarakat dikenal dengan sebutan LENEK. Adapun mengenai kapan dilakukannya perpidahan tersebut tidak dapat diketahui dengan pasti dalam artian tidak ada data tertulis mengenai hal tersebut, hanya saja pada waktu itu diketahui bahwa agama Islam sudah masuk dan berkembang di Desa Sukumulia ini walaupun belum begitu pesat.

Dalam beberapa informasi tersebut bila dihubungkan dan ditilik data tentang sejarah masuknya agama Islam di Lombok yaitu sekitar abad ke 16 hingga pertengahan abad ke 18, maka bisa diperkirakan Raden Wirangbaya melaksanakan rencana pemerintahannya itu adalah sekitar antara akhir abad ke 16 atau awal abad ke 17.

Setelah berpindah tempat jumlah penduduknya pun sudah mulai berkembang dengan cukup pesat, ini terjadi karena telah "dimulainya" perkawinan antara penduduk Sukamulia yang berjumlah 140 orang dengan pengikut Raden Wirangbaya yang berjumlah 160 orang. dimasa inilah kemudian Raden Wirangbaya mengutus ke empat orang patih tersebut untuk pindah ketempat yang masih berada dibawah kekuasaannya untuk menjadi wakilnya didalam memerintah di tempat wilayahnya masing-masing. Patih Demung Papak diperintahkan untuk menuju kesebelah barat desa yang dinamakan Dasan Paok Pondong, disini Patih Demung Papak ini berdomisili dan menjalankan tugasnya sebagai wakil dari Raden Wirangbaya.

Patih Tembeng Bagia diperintahkan untuk menuju kesebelah selatan desa tepatnya di Dusun Dasan Tembeng, sementara itu Patih Si Nyiur juga menuju ke selatan , hanya saja kalau Patih Tembeng Bagia ke selatan barat, maka Patih Si Nyiur keselatan bagian timur, dan di tempat yang diperintah oleh Patih Si Nyiur inilah yang sekarang dikenal dengan nama Dasan Nyiur sesuai dengan nama Patihnya, sedangkan Patih Ramban Biak diperintahkan menuju kesebelah utara desa yang kemudian daerah itu dinamakan Dasan Ramban Biak.

Untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman agama pada masyarakat/rakyatnya maka Raden Wirangbaya memerintahkan untuk mendirikan sebuah bangunan sarana peribadatan sebagai tempat mengajar agama Islam yang dinamakan pesanteren, atau yang oleh masyarakat setempat biasanya disebut Santeren. Pada saat pertama kali didirikan santeren itu dinamakan Santeren Mulang, dinamakan demikian karena memang tempat itu digunakan untuk mengajarkan ajaran-ajaran agama (Mulang berasal dari bahasa jawa yang berarti Mengajar). Tetapi entah karena apa akhirnya lama kelamaan nama santeren Mulang berubah menjadi Santeren Malang. Dari hal ini dapat diketahui seberapa besar pengaruh jawa (Majapahit) terhadap kehidupan rakyat Desa Lenek waktu itu, dan juga sampai dengan hari ini

Selain itu juga didirikan sebuah tempat pemandian yang tujuannya adalah disamping untuk tempat mandi, juga sebagai tempat rekreasi maupun istirahat, tempat ini dinamakan Pesirman. Kemudian seperti halnya pada banyak kejadian maka nama itupun saat ini lebih dikenal dengan nama Pesiraman.

Dari proses kesejarahan tersebut, maka walaupun secara geografis letak desa lenek demikian adanya, akan tetapi kultur atau budaya masyaraktnya tetap memiliki banyak kesamaan. Hal ini juga yang menyebabkan mereka tetap merasa satu, sebagai salah satu buktinya adalah bahwa tidak jarang terjadi sekelompok keluarga yang berdomisili di ujung utara desa masih bersaudara dengan yang di ujung selatan maupun lainnya, faktor pendukung lainnya adalah terdapatnya beberapa peninggalan sejarah, seperti bekas masjid tua " Masjid Presak" (Presak = bekas pusat pemerintahan desa yang ditinggalkan) dan bekas tempat pakaian orang tua yang di sebut MIJO.

Sampai saat ini masyarakat Desa Lenek adalah merupakan salah satu masyarakat yang masih mampu melestarikan budaya daerah setempat dalam lingkaran hidupnya, baik yang berupa upacara yang bersifat ritual maupun upacara lainnya. Beberapa upacara daur hidup yang masih dilestarikan oleh masyarakat desa lenek diantaranya adalah Upacara Khitanan, Kelahiran, Perkawinan, juga Kematian.

Selain itu ada juga beberapa upacara yang berkaitan nilai agama yaitu, Upacara Bubur Putek (tanggal 10 Muharam), Upacara pembuatan Bubur Abang (tanggal 10 Syapar), Upacara Mulut Adat (tanggal 12 Rabiulawal), serta ada pula upacara yang berkaitan dengan alam misalnya, Begawe Belauq, Upacara Ngalu Ujan, Upacara Betetulak, Upacara Ngayu-ayu

Upacara Adat Mulut Bleq merupakan salah satu bentuk upacara ritual pada masyarakat Lombok Timur, khususnya yang berada di desa Lenek yang berlangsung secra turun temurun dari dulu sampai saat ini, upacara ini dimaksudkan untuk memperingati kelahiran nabi besar Muhammad SAW dengan secara adat, dimana pelaksanaan upacara ini dimulai dari tanggal 10 sampai dengan 15 Rabiulawal pada setiap tahunnya. Upacara Mulut Bleq diawali dengan pengeluaran Sabuk Belo kemudian dilanjutkan dengan acara Pepaosan, Pembuatan Minyak Obat dan acara puncaknya ialah Praja Mulud. Pada siang harinya acara dilanjutkan dengan pengajian, penyantunan Anak Yatim Piatu dan pemberian makan kepada semua mahluk. Sedangkan pada malam harinya diramaikan dengan berbagai macam kesenian sasak.

Sabuk Belo disini merupan simbol yang melambangkan ikatan persaudaraan, Kekeluargaan, Persatuan dan Kestuan antara sesama mahluk, sebagaimana yang tertulis dalam sastra sasak " Belo tetandan ta entiq, Pait pria ta kaken, Teguq tegeng maraq batu, Kekah datan keneng obah, Tulus karang jari apur", atau dalam Al'Quran di sebutkan " Wa'tasimu- bihabblillahijami'an wala tafarraqu"
Berkaitan dengan pemberian makan kepada semua mahluk hidup, hal ini merupakan tujuan Nabi Muhammad yang diutus oleh Allah SWT sebagai penyelamat alam semesta (Rahmatan Lil Alamin) atau dalam sastra sasak disebutkan "mel bao mel bawaq, maraq aiq dalem selao (Memayu Hayuning Bwana)", yang dilandasi dengan sifat kasih sayangnya terhadap segala sesuatu (hanngelampahkan agung dana nira)

Pada dasarnya seluruh rangkaian upacara adat "Mulut Bleq" adalah merupakan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat adat. Tentunya memperingati hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW mempunyai makna khusus dan dalam karena sebagai masyarakat adat unsur menembah, Pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah faktor yang dominan di dalam hidup dan kehidupan.

Di dalam menembah dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa tersebut perlu diingat bahwa unsur kebersihan jasmani dan rohani sangat dominan. Mengingat bahwa sang pencipta bersifat Maha Suci, maka hanya dengan kesucian jasmani dan kesucian jiwalah kita dapat sampai kepadanya. Oleh karena itulah bagi para masyarakat penghayat, momen Mulut Bleq merupakan titik tolak untuk merenung, menilai, dan mengintrofeksi diri sendiri sekaligus untuk meneladani segala prilaku dan perjalanan hidup Rasulullah

Wassalam

Budi Darma
Narasumber :
Maspakel Dane Rahil, dan beberapa para sesepuh lenek
ORGANISASI ADAT SABUK BELO
Alamat: Pesenggrahan Dane Rahil - Desa Lenek Daya Kec. Aikmel - Kab. Lombok Timur – NTB, Indonesia
Email    : sabukbelo@yahoo.co.id
            : budidarma.wirangbaya@sasak.org

Tulisan ini telah dimuat pada  www.sasak.org